Dr. Adnan Mahdi, M.S.I. اْلحَمْدُ ل ِ لّٰهِ الَّذِيْ هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِــشَـرِيْــعَـةِ الـنَّبِـيِّ الْـك...
Dr. Adnan Mahdi, M.S.I.
اْلحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ
هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِــشَـرِيْــعَـةِ الـنَّبِـيِّ الْـكَرِيـْـمِ،
أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْـكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَـبِـيَّــنَا مُـحَمَّدًا عَـبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ، اَللّٰهُمَّ
صَلِّ وَسَلِّمْ وَبارِكْ عَـلٰى سَـيِّـدِنَـا مُـحَمَّدٍ وَعَلٰى اَلِــهِ وَأَصْحَابِــهِ
وَالــتَّابِعِيْنَ بِــإِحْسَانِ إِلَى يَوْمِ الدِّينَ.
أَمَّا بَعْدُ: فَيَاَيُّـهَا الْإِخْوَانُ، أُوْصِيْكُمْ وَ نَـفْسِيْ
بِــتَــقْوَى الله وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُــفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى
فِي الْقُرْاۤنِ الْكَرِيْمِ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ
اللهِ الرَّحْـمٰنِ الرَّحِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اتَّقُوْا
اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا، يُـصْلِحْ لَـكُمْ أَعْمَالَـكُمْ وَيَـغْـفِـرْ
لَـكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَــهُ فَـقَدْ فَازَ فَـوْزًا
عَظِــيْمًا. وَقَالَ تَــعَـالىَ: يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّـــقُوْا
اللهَ حَقَّ تُــقَاتِــهِ وَلاَ تَـمُوْتُــنَّ إِلاَّ وَأَنْــتُـمْ
مُسْلِمُوْنَ.
Kaum Muslimin, Jama’ah Jum’at
Rahimakumullah
Alhamdulillah, segala puji-pujian dan ungkapan rasa syukur kehadirat Allah
SWT yang masih memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kita semua, sehingga
di hari Jum’at kali ini, kita dapat menghadiri dan melaksanakan ibadah Jum’at
di masjid yang megah ini. Shalawat dan salam semoga
tercurahlimpahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW, semoga kita
senantiasa dapat dan dimampukan oleh Allah untuk meneladani akhlaknya hingga
akhir zaman, âmîn.
Hadirin, Jama’ah Jumat Rahimakumullah
Setiap tubuh memerlukan makanan sebagai asupan untuk
kebugaran, keseimbangan dan kesehatannya. Tak akan ada orang yang sanggup
bertahan bila tidak makan sepanjang hidupnya. Semakin halal dan thayyib
(baik) makanan yang di makan oleh tubuh, maka akan semakin sehat jasmaninya.
Begitu pula dengan rohani yang dipusatkan pada qalbu
manusia, ia juga memerlukan asupan makanan, dan makanannya itu bernama dzikrullah.
Tak akan ada manusia yang sanggup hidup tanpa asupan makanan rohaninya,
meskipun seseorang yang berideologi komunis sekalipun. Kebutuhan manusia
terhadap asupan rohani merupakan sebuah fitrah, yakni kebutuhan mendasar
yang sudah ada sebelum lahir hingga wafat. Sebelum manusia dilahirkan, Allah
SWT telah mengambil persaksian kepada ruh-ruh manusia:
وَإِذۡ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ
وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ
شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا
غَٰفِلِينَ١٧٢
Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (ruh) mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al-A’raf:
172).
Berdasarkan ayat
di atas, sangat jelas bahwa ruh atau rohani manusia sudah bermusyahadah
akan keberadaan Allah sejak dalam kandungan, dan kesaksian tersebut harus
selalu diperbaharui dengan dzikrullah: Lâ ilâha illallâh. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui haditsnya yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad (8944) dan Al-Hakim (7766): “Perbaharuilah iman kamu. Lalu Rasulullah
ditanya: Bagaimana cara memperbaharui iman kami? Beliau menjawab: “Perbanyaklah kalian
mengucapkan kalimat Lâ ilâha illallâh”.
Kaum Mukminin
Rahimakumullah
Sejatinya untuk
mengucapkan kalimat tahlîl “lâ ilâha illallâh” atau lafadz-lafadz
dzikrullah lainnya bukanlah perbuatan yang sulit, namun herannya tak
banyak manusia yang sanggup melakukannya. Lalu mengapa bisa demikian?
Jawabannya tak lain karena hati mereka telah hitam dan rusak oleh kelalaian,
kemaksiatan dan berlebihan mencintai dunia.
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang
mukmin apabila melakukan suatu dosa, maka terbentuklah bintik hitam di dalam
hatinya. Apabila ia bertaubat, kemudian menghentikan dosa-dosanya dan
beristighfar, maka bersihlah bintik hitam itu di dalam hatinya. Namun apabila
dia terus berbuat dosa, maka bertambahlah bintik hitam pada hatinya sehingga
tertutuplah seluruh hatinya, itulah karatan yang disebut Allah dalam QS.
Al-Muthaffifin ayat 14: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang
mereka usahakan telah menutup hati mereka” (HR. Al-Baihaqi).
Kaum Muslimin
Rahimakumullah
Sejalan dengan
hadits dan ayat di atas, Imam al-Ghazali pernah berkata: Hati itu ibarat
cermin. Ketika seseorang melakukan dosa/maksiat, maka ada satu titik hitam
menodai hatinya. Semakin banyak dosa, maka akan semakin banyak titik hitam yang
menutupi hatinya. Jika semua hatinya sudah tertutupi, maka hatinya tak bisa
lagi digunakan untuk mengaca dan mengevaluasi diri. Ketika hati sudah begini,
kesadaran keagamaan semakin surut menipis dan menghilang dari dirinya. Bila sudah
seperti ini, jangankan dosa kecil, dosa besar saja sudah dianggapnya
biasa-biasa saja. Jangankan meninggalkan yang sunnah, yang wajib pun dianggap
biasa dan tidak memiliki konsekuensi apa-apa. Mengapa? Karena kepekaan atau
sensor deteksi di dalam hatinya sudah tak berfungsi, cahayanya hilang dihadang
oleh kegelapan titik dosa dan kemaksiatan. Bila hati sudah seperti ini, maka ia
dinamakan dengan qalbun mayyit, yakni hati yang telah mati.
Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Lantas masih
mungkinkah kita bisa menghidupkan kembali hati yang telah mati? Tentu, selama hidup
masih dikandung badan dan ada kesungguhan diri untuk menghidupkannya kembali,
pastilah kesempatan masih terbuka lebar. Bukankah Allah SWT telah menegaskan:
إِنَّ ٱللّٰهَ لَا
يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ
Sesungguhnya Allah
tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mau mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra’d: 11).
Ayat di atas menjelaskan
kepada kita, bahwa perubahan pada diri kita, pada kaum kita, sangat bergantung
pada kemauan kita sendiri. Untuk itu, bila ada kemauan untuk menghidupkan hati,
maka bersihkanlah titik hitamnya dengan dzikrullah. Rasulullah SAW
bersabda:
لِــكُلِّ شَيْءٍ صَــقَالَـةٌ
وَصَــقَالَـةُ الْـقَـلْـبِ ذِكْــرُاللهِ
Bahwasanya bagi
tiap sesuatu ada alat pembersihnya, dan alat untuk membersihkan hati adalah dengan
dzikrullah.
Berdasarkan hadits
di atas, jelaslah bahwa hati yang mati, hati yang hitam oleh noda dan dosa
maksiat masih bisa dibersihkan dengan dzikrullah. Sangat banyak ayat
al-Qurân maupun hadits yang memerintahkan kita untuk berdzikir, seperti di
dalam QS. al-Ahzâb ayat 41-42:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱذۡكُرُواْ ٱللّٰهَ ذِكۡرٗا كَثِيرٗا ٤١ وَسَبِّحُوهُ
بُكۡرَةٗ وَأَصِيلًا ٤٢
Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut
nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya di
waktu pagi dan petang.
Kata “berdzikirlah” pada ayat di atas menunjukkan kalimat
perintah, artinya kita diperintahkan Allah untuk selalu berdzikir kepada-Nya.
Dalam ayat di atas juga diterangkan bahwa dzikir harus dilakukan
sebanyak-banyaknya, bukan diutamakan pada kualitasnya. Mengapa demikian?
Ternyata di dalam QS. ar-Ra’d ayat 28, Allah SWT menjelaskan:
ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللّٰهِ،
أَلَا بِذِكۡرِ ٱللّٰهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ ٢٨
(Yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tenteram.
Berdasarkan ayat
di atas, ternyata dengan berdzikir, hati akan menjadi tenang, semakin banyak
jumlah dzikirnya, maka akan semakin tenang hatinya. Hati yang tenang adalah qalbun
salim atau hati yang selamat, dan dari hati yang selamat inilah akan lahir
ibadah yang khusyu’, amaliah-amaliah yang ikhlas, dan
teladan-teladan kebajikan yang istiqamah.
Kaum Muslimin
Rahimakumullah
Hendaknya kita
sadari bahwa sejatinya dzikrullah merupakan cara melatih hati untuk bermusyahadah kepada Allah SWT. Musyahadah adalah upaya
pengabaian manusia terhadap semua yang merusak, sekaligus sebagai obsesi untuk
menjadi pribadi yang sempurna. Musyahadah ini merupakan
makna hidup yang telah lama menghilang dari kehidupan manusia modern saat ini, akibatnya
manusia sering terperangkap ke dalam berbagai krisis, mulai dari krisis sosial,
krisis struktural, hingga krisis moral. Hilangnya musyahadah ini di dalam diri beriringan dengan
orientasi hidup yang serba materialistik, akibatnya banyak manusia
modern yang meningkat rasa kecintaannya pada dunia, namun menurun drastis
kesadaran dan kepekaan akhiratnya. Tidaklah heran bila kita mendengar ada manusia yang
sangat “buas” dan “rakus” dalam menumpuk harta, apapun ia lakukan demi memenuhi
hasrat keduniannya. Lebih menyedihkan lagi, manusia-manusia seperti ini rela
“memperalat” agama demi ambisinya, menjadikan al-Qurân dan Hadits sebagai
penutup kedoknya, bahkan seringkali ia berani mengatasnamakan Allah untuk
melindungi kemunafikannya, naudzubillahi min dzalik.
Semoga kita
terhindar dari sifat dan perilaku manusia yang rusak seperti itu, terhindar
dari manusia yang hitam pekat hatinya. Mudah-mudahan kita menjadi diri yang pandai
bersyukur, rajin bershadaqah, banyak berdzikir, dan paling taat dalam beribadah, âmîn
ya rabbal ‘âlamîn.
بـَـارَكَ اللهُ لِيْ وَلَــكُمْ فِي
الْــقُـرْآنِ الْعَـظِــيْـمِ، وَنَــفَعَـنِيْ وَإِيَّـاكُمْ بِالْآيَاتِ
وذِكْرِ الْـحَكِيْمِ. إنَّــهُ تَعَالَى جَوّادٌ كَـرِيْــمٌ، مَلِكٌ بَــرٌّ
رَؤُوْفٌ رَحِـيْـمٌ.
Khutbah II
اَلْـحَمْدُ لِلّٰهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ
وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِـيْـقِـهِ وَاِمْـتِـنَانِـهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ
اِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إِلىَ رِضْوَانِهِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ
عَلٰى سَـيِّـدِنَـا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِـيْمًا
كَــثِـيْرًا
أَمَّا بَعْدُ: فَيَـا اَيُّهَا
النَّاسُ، اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا
أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِـيْـهِ بِـنَفْسِهِ وَثَـنَى بِـمَلآ
ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ. وَقَالَ تَعاَلَى: إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ
عَلىَ النَّبِى يَــآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ
وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَـا مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اَنْـبِــيَآئِكَ
وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلـمُقَرَّبِيْنَ، وَارْضَ اللّٰهُمَّ عَنِ اْلـخُلَفَاءِ
الـرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرْ وَعُثْمَانَ وَعَلـِــى وَعَنْ بَـقِيَّةِ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِـي التَّابِعِيْنَ لَـهُمْ بِــإِحْسَانٍ
اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ.
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
وَاْلـمُؤْمِنَاتِ وَاْلـمُسْلِمِيْنَ وَاْلـمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيَآءِ مِنْهُمْ
وَاْلاَمْوَاتِ. اَللّٰهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلـمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ
الشِّرْكَ وَاْلـمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلـمُوَحِّدِيَّــةَ وَانْصُرْ
مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلـمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ
أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ
عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْـمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ
وَالْـمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِــيْسِيَّا
خَآصَّةً وَسَائِـرِ اْلبُلْدَانِ اْلـمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ
اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا ظَـلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَـمْ تَغْـفِرْ لَـنَا
وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْـيَا
حَـسَـنَـةً وَفِى اْلآخِـرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَاللهِ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
وَإِيْتَآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ
اْلفَحْشآءِ وَاْلـمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ
يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Tidak ada komentar