Berikut ini adalah salinan manuskrip kitab berjudul “ al-Ajwibah al-Mardhiyyah ‘an al-As’ilah al-Nahwiyyah ” karya seorang linguis Arab asal...
Berikut ini adalah salinan
manuskrip kitab berjudul “al-Ajwibah al-Mardhiyyah ‘an al-As’ilah al-Nahwiyyah”
karya seorang linguis Arab asal Granada (Spanyol) yang hidup di abad ke-15 M,
yaitu Syaikh Syams al-Dîn Abû ‘Abdillâh Muhammad b. Ismâ’îl al-Gharnâthî
al-Andalusî yang juga terkenal dengan nama Imam al-Râ’î (w. 853 H/1449 M).
Kitab ini berisi kajian
bidang ilmu sintaksis dalam tata bahasa Arab (nahwu). Untuk memudahkan
pemahaman para pembaca dan pembelajar karya ini yang berasal dari kalangan
tingkat pemula (mubtadî), sang pengarang pun menulis karyanya ini dengan metode
tanya jawab (QnA).
Pengarang kitab ini, yaitu
al-Imâm al-Râ’î al-Gharnâthî, hidup di masa-masa terakhir peradaban Islam di
Spanyol (Andalus). Kota tempat kelahiran al-Râ’î, yaitu Gharnâthah (Granada),
adalah ibu kota pemerintahan Emirat Banî Ahmar, wangsa penguasa Islam terakhir
di Andalus. Granada adalah kota yang terakhir jatuh ke pihak Kerajaan Kristen
Spanyol pada tahun 1492. Keruntuhan peradaban Islam di Andalus ditandai dengan diserahkannya
istana Alhambra dan terusirnya Sultan Abû ‘Abdillâh Muhammad XII (Boabdil)
keluar Spanyol.
Meski berada di bagian barat
Eropa yang jauh dari negeri Arabia, Andalus telah eksis sebagai pusat
perkembangan ilmu tata bahasa Arab yang mengagumkan. Andalus banyak melahirkan
para sarjana besar dalam bidang ilmu tata bahasa Arab, seperti Imam Ibn
al-Mu’thî yang mengarang tiga ribu bait puisi berisi teori-teori gramatika
Arab, atau Imam Ibn Mâlik yang terkenal dengan kitab karangannya dalam ilmu nahwu
yaitu Alfiyyah Ibn Mâlik, dan juga Imam al-Râ’î yang mengarang kitab
“al-Ajwibah al-Mardhiyyah ‘an al-As’ilah al-Nahwiyyah”.
Sebuah salinan manuskrip
kitab “al-Ajwibah al-Nahwiyyah” karya Imam al-Râ’î ini didapati tersimpan di
Desa Lempuyang, Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang (Banten) sebagai koleksi
pribadi Ustadz Kholid. Kondisi naskah tersebut terlihat sudah rapuh, di mana
banyak bagian naskah yang robek, berlubang dan terkena noda. Namun demikian,
naskah masih bisa dapat dibaca dengan baik. Naskah ditulis dengan jenis aksara
Arab (khat) “naskhi”, menggunakan tinta hitam dan merah untuk rubrikasi. Naskah
ini tidak memiliki nomor halaman dan tidak terdapat iluminasi dan ilustrasi
yang menjelaskan isi suatu teks. Naskah terdiri dari satu kuras 7 lembar dan 17
baris teks dalam setiap halamannya. Saat ini, naskah tersebut telah
didigitalisasi oleh Lektur Kementrian Agama RI dan dikatalogkan dengan nomor
kode LKK_BANTEN2016_KHD021.
Menariknya, dalam naskah
tersebut terdapat tiga buah parateks (al-taqyîdât). Parateks yang paling
terakhir berisi catatan kepemilikan naskah (tamalluk al-makhthûth). Parateks
tersebut menginformasikan jika pemilik terakhir naskah tersebut adalah Syaikh
Ahmad Khatib Sambas (w. 1872), seorang ulama sufi besar Nusantara yang mengajar
di kota suci Makkah dan juga inisiator Tarekat Qadiriah Naqsabandiah (TQN),
salah satu ordo tasawuf yang paling populer dan paling banyak pengikutnya di
Nusantara saat ini.
* * * * *
Tertulis teks yang memuat
judul kitab dan juga nama pengarangnya sebagaimana berikut:
الأجوبة المرضية عن الأسئلة النحوية/ للعالم العلامة المحرر الفهامة/ أبي عبد
الله محمد بن محمد بن محمد/ بن إسماعيل الأندلسي/ الشهير بالراعي/ رحمه الله
تعالى/ ونفعنا به/ آمين
(Kitab “al-Ajwibah
al-Mardhiyyah ‘an al-As’ilah al-Nahwiyyah” karya seorang yang alim ‘allamah,
yang teruji keilmuannya dan luas pemahamannya, yaitu Abû ‘Abdillâh Muhammad b.
Muhammad b. Muhammad b. Ismâ’îl al-Andalusî yang terkenal dengan julukan
al-Râ’î, semoga Allah Ta’ala merahmatinya dan memberikannya kemanfaatan. Amin)
Identitas penyalin manuskrip kitab tersebut terdapat di sisi kiri atas halaman judul. Parateks yang memuat informasi sang penyalin tersebut tampak sudah tercorat-coret. Meski demikian, kita masih bisa berusaha untuk membacanya dan mendapatkan informasi jika penyalin manuskrip tersebut adalah sosok yang bernama Ibrâhîm anak almarhum Muhammad ‘Alî al-Qudsî, yang sangat dimungkinkan sebagai seorang ulama asal Kudus dan bermukim di kota suci Makkah. Tertulis di sana:
كتب بيده الفاني لنفسه/ الفقير اليه تعالى إبراهيم/ بن المرحوم محمد علي
القدسي/ عفى الله عنهما/ بمنه
(Disalin [ditulis] oleh
tangannya yang fana atas dirinya, seorang yang fakir kepada Allah Ta’ala, yaitu
Ibrâhîm anak almarhum Muhammad ‘Alî al-Qudsî, semoga Allah memaafkan keduanya
dengan kemurahanNya)
Setelah itu, terdapat pula
parateks berisi catatan kepemilikan awal atas manuskrip salinan tersebut.
Sebagaimana halnya parateks pertama yang memuat informasi sosok penyalin
manuskrip, parateks kedua ini juga kondisinya tampak tercorat-coret. Parateks
berisi kepemilikan pertama manuskrip tersebut menginformasikan sosok nama
Muhammad Sa’îd b. ‘Alî al-Qudsî, yang tampaknya juga masih memiliki hubungan
kekerabatan dengan sosok penyalin manuskrip. Terdapat pula catatan berisi titimangsa
kepemilikan manuskrip bertahun 1238 Hijri (1823 Masehi). Tertulis di sana:
في ملك الفقير اليه تعالى/ محمد سعيد بن علي/ القدسي غفر الله/ له ولوالديه/
والمسلمين/ آمين/ 1238
(Dalam kepemilikan seorang
yang fakir kepada Allah Ta’ala, Muhammad Sa’îd b. ‘Alî al-Qudsî, semoga Allah
mengampuninya dan kedua orang tuanya dan seluruh umat Muslim, Amin. [tahun]
1238 [Hijri])
Selain dua parateks di atas,
terdapat pula parateks ketiga yang juga berisi catatan kepemilikan terakhir
manuskrip. Berbeda dengan dua parateks sebelumnya yang kondisinya
tercorat-coret, parateks ketiga ini tampak bersih tanpa coretan dan tertulis
dengan ukuran khat yang lebih besar. Hal ini menjadi indikator jika nama yang
tertulis pada parateks ketiga ini adalah sosok pemilik manuskrip terakhir. Dan
sosok nama pemilik terakhir manuskrip tersebut tak lain adalah Syaikh Ahmad
Khatib Sambas. Tertulis di sana:
في ملك الفقير الي الله تعالى/ أحمد خطيب بن عبد الغفار/ الجاوي سمبس
(Dalam kepemilikan seorang
yang fakir kepada Allah Ta’ala, Ahmad Khatîb b. ‘Abd al-Ghaffâr al-Jâwî Sambas)
* * * * *
Keberadaan manuskrip milik
Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang tersimpan di Lempuyang (Banten) ini tentu saja
sangat menarik perhatian. Hal ini juga tampaknya berkaitan dengan hubungan
antara Syaikh Ahmad Khatib Sambas dengan Syaikh Abdul Karim Banten. Salah satu
murid terdekat Syaikh Ahmad Khatib Sambas dan juga khalifah utama tarekatnya di
Makkah, yaitu Syaikh Abdul Karim Banten, memang berasal dari Desa Lempuyang
Banten.
Dalam konteks narasi sejarah besar jaringan ulama Nusantara dan Timur Tengah, Desa Lempuyang memainkan peran yang sangat penting. Ulama-ulama Nusantara dari Banten yang tercatat mengajar di Makkah pada kurun masa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M banyak yang berasal dari Desa Lempuyang. Selain Syaikh Abdul Karim Banten, ulama asal Lempuyang di Makkah lainnya adalah Syaikh Marzuqi Banten, Syaikh Arsyad Thawil Banten, Syaikh Syanwani Banten dan lain-lain.
Secara administratif, Desa
Lempuyang masuk ke dalam wilayah kecamatan Tanara. Di Tarana terdapat Kiyai
Umar, seorang penghulu, imam dan juga khatib masjid jami’nya. Kiyai Umar adalah
ayah dari Syaikh Nawawi Banten (w. 1897), seorang ulama besar Nusantara yang
mengajar di Makkah dan berjejuluk “Sayyid ‘Ulamâ al-Hijâz” (Penghulu Ulama Hijaz)
oleh sebab kemasyhuran ilmunya.
Wallahu A’lam
Fii Makaani Maa, 27 Juli 2021
Sumber Tulisan: A. Ginanjar Sya’ban
Tidak ada komentar